 |
Ilustrasi mati suri |
Para ilmuwan memiliki gagasan tentang cara untuk menyadarkan seseorang yang sudah dinyatakan meninggal.
Gagasan
tersebut dibahas dalam pertemuan New York Academy of Science,
menghadirkan Dr Sam Parnia dari State University of New York di Stony
Brook, Stephan Meyer dari Columbia University, dan Lance Becker dari
University of Pennsylvania.
Dalam pertemuan itu dibahas bahwa
kunci penyadaran kembali atau resusitasi pada orang yang baru saja
meninggal itu ialah proses hipotermia atau pendinginan tubuh dan
pengurangan suplai oksigen.
Gagasan ilmuwan didasarkan pada
pandangan baru tentang kematian. Sebelumnya, kematian didefinisikan
sebagai saat di mana jantung sudah berhenti berdetak dan paru-paru
berhenti bekerja sehingga individu tidak bernapas.
Dalam
pandangan baru, kematian tidak dianggap sebagai peristiwa yang terjadi
secara serentak di semua bagian tubuh, tetapi sebagai proses bertahap.
Saat detak jantung dan napas individu terhenti, sel individu sebenarnya
masih hidup.
Kematian total, kiranya bisa dikatakan demikian,
baru terjadi ketika sel-sel otak kekurangan oksigen, akibat terhentinya
jantung dan napas, sehingga rusak dan mengirim sinyal bagi sel-sel lain
menjelang saat kematian.
Dalam gagasan ilmuwan, ada jeda antara
henti jantung dan napas dengan kematian total. Jeda itu yang kemudian
dimanfaatkan untuk melakukan tindakan sehingga orang yang sebelumnya
dinyatakan telah mati bisa sadar kembali.
Proses tersebut harus
dilakukan secara hati-hati. Salah satu perhatiannya, upaya menyadarkan
orang yang telah meninggal harus tidak mengakibatkan kerusakan otak
akibat jantung yang berhenti menyuplai oksigen.
Diberitakan
Huffington Post,
Senin (21/10/2013), kunci penyadaran kembali tanpa merusak jaringan
otak salah satunya adalah hipotermia, yakni tubuh didinginkan beberapa
derajat lebih rendah daripada suhu normalnya 37 derajat celsius.
Berdasarkan
studi, hipotermia bisa mencegah kerusakan sel otak dengan menurunkan
permintaan oksigennya. Namun, ini tetap ada batasannya. Ada momen ketika
kerusakan memang sudah terlalu besar sehingga tak bisa dikembalikan.
Kemudian,
setelah prosedur hipotermia dan jantung bekerja, kunci lainnya adalah
menjaga suplai oksigen. Suplai oksigen yang tiba-tiba besar justru akan
berdampak negatif karena akan merusak jaringan otak.
Hipotermia
terbukti membantu prosedur resusitasi. Namun, bahkan di Amerika Serikat,
tak semua rumah sakit menerapkan prosedur hipotermia. Hal ini menjadi
keterbatasan untuk mengupayakan resusitasi yang berhasil.
Tentang
suplai oksigen, Parnia menuturkan, suplai harus diatur dengan mesin
agar jumlah oksigen yang dialirkan sesuai yang dibutuhkan.
Penyadaran
kembali orang yang telah meninggal ini menimbulkan pertanyaan etis.
Pasalnya, upaya menyadarkan kembali orang yang telah berjam-jam
mengalami henti jantung berisiko pada kerusakan otak. Siapa yang
kemudian bertanggung jawab melakukan proses resusitasi lebih
komprehensif?
Mayer mengungkapkan, keterbatasan saat ini adalah
pengetahuan tentang kerusakan otak. Ilmuwan belum mengetahui seberapa
lama kerusakan bertahan dan apakah bisa dikembalikan ke kondisi semula.
Mayer
mengungkapkan, masih perlu pembelajaran lebih lanjut. Namun, ia
mengatakan bahwa ilmuwan juga tak bisa begitu saja mengatakan bahwa
kerusakan otak tak bisa dikembalikan.
Sementara, Becker
menuturkan, upaya penyadaran tidak selalu bisa dilakukan di setiap
kasus. Namun, sekali dokter memutuskan, dokter harus menerapkan semua
metode yang mungkin bisa dilakukan.